indische' voice

indische' blurbs on -
just about anything.

Tuesday, February 17, 2004

Korban Meninggal Demam Berdarah: "IBU, BERPELUKAN..."
Jakarta, KCM

Meski sudah 2 minggu, Nova, ibu muda yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, masih berduka. Rabu (3/2), dia kehilangan Bima, anak semata wayangnya. Penyakit demam berdarah merenggut nyawa bocah laki-laki berusia 6 tahun itu.

Sudah takdir, begitu kata sebagian orang. Tetapi, Nova merasa dokter yang menangani anaknya tidak profesional. Selain salah diagnosa, penanganan dokter juga tidak maksimal.

Tidak Minta Dibacakan Buku Ceritera

Hari itu, Kamis 29 Januari, Bima (6), bersekolah seperti biasa. Kondisi tubuhnya amat sehat. Sepulang sekolah, bocah tampan yang duduk di kelas 1 sekolah elit High Scope Indonesia di bilangan TB Simatupang itu, masih mengerjakan pekerjaan rumahnya di kamar. Seperti hari lainnya, Bima menyelesaikan pelajaran sekolahnya pukul 14.30. Setelah itu, ia masih mengikuti kegiatan ekstra kurikuler selama 45 menit. Pukul 15.15 barulah Bima pulang ke rumah dijemput supir.

"Untuk perjalanan dari sekolah ke rumah, biasanya saya bawain jus dan snack. Dia suka jus apa saja terutama buah-buahan lokal seperti pepaya, tomat, jeruk, mangga, pisang ambon. Cemilannya bisa nugget atau roti," tutur Nova, ibu muda yang hanya memiliki satu anak itu.

Setengah jam setelah tiba di rumah, Bima mandi air hangat yang sudah disiapkan ibunya. Setelah bermain-main sejenak dan shalat maghrib, tanpa disuruh Bima mengerjakan PR-nya.

"Anak itu gampang sekali, tidak pernah membuat susah. Biar anak tunggal sangat mandiri. Tidak perlu diingatkan berkali-kali untuk mengerjakan PR atau shalat," kata sang ibu.

Seperti juga hari-hari lainnya, pukul 9.00 malam, Bima beranjak ke tempat tidur. Entah mengapa, malam itu, dia tidak minta dibacakan buku ceritera kesayangannya. Padahal, biasanya Bima tidak bisa tidur kalau belum dibacakan kisah binatang kesukaannya.

"Tumben, anak ini langsung tidur. Saya pegang badannya kok panas. Saya ambil termometer, setelah diukur ternyata panasnya 38,5 derajat Celcius. Cukup tinggi. Langsung saya beri obat penurun demam Proris, " ujar Nova yang sempat heran setelah diberi obat, kok demam anaknya tak juga turun.

Pukul 01.00 dinihari, Nova bangun untuk memeriksa keadaan Bima. Pipi sang anak terlihat memerah. "Saya yang ada di sebelahnya saja bisa merasakan hawa panasnya." Begitu diukur suhu tubuhnya mencapai 40,5 derajat Celcius.

Nova mulai khawatir, mengapa obat demam yang diberikannya pukul 22,00 sama sekali tak bereaksi. Memberi obat lagi jelas tidak mungkin, karena harus diberikan setiap 8 jam. "Karena takut step, tubuhnya saya terapi dengan alkohol. Sementara bagian yang berbahaya seperti kening, dahi, belakang tengkuk, ketiak, saya kompres dengan plester penurun panas"

Semalaman Nova tidak tidur. Ia tidak langsung membawa putra tunggalnya ke dokter, karena mengira Bima hanya menderita radang tenggorokan. Apalagi, Bima juga mengeluh lehernya sakit. Setelah lewat 8 jam, sekitar pukul 04.00 pagi, Nova kembali memberikan obat demam untuk kedua kalinya, karena suhu tubuh Bima masih cukup tinggi.

Pagi-pagi sekali, Jum'at (30/1), Nova langsung mendaftar melalui telepon ke Rumah Sakit Pondok Indah untuk memeriksakan anaknya.

"Saya baru dapat giliran jam 1.00 siang. Karena pasiennya penuh dan dokter di sana baru praktik jam 10.00," tuturnya.

Muntah-muntah

Selama menunggu dibawa ke dokter, Bima di rumah muntah-muntah luar biasa. Nova kembali menghubungi rumah sakit mengabarkan kondisi anaknya yang mengkhawtirkan. Namun, petugas di rumah sakit tak bisa berbuat apa-apa karena dokter baru tiba siang hari.

Ketika itu, suhu tubuh Bima hanya turun sedikit, sekitar 39,5 derajat Celcius. Dia sama sekali tak mengeluh. Makan pun masih mau. Meski sakit, buah apel, keju, nasi dengan lauk udang, dilahapnya.

"Makannya jalan, tapi muntahnya juga jalan terus. Begitu muntah saya suapi lagi, karena takut dehidrasi. Minumnya juga kuat. Setiap 2 jam, satu botol Aqua habis. Tetapi, muntahnya semakin sering. Saya sampai kelelahan mengejar antara muntah dengan memberi makanan lagi, " ujar Nova.

Usai shalat Jum'at, begitu akan dibawa ke dokter, hujan turun sangat deras. Badai melanda Jakarta, pohon-pohon besar di jalanan tumbang. "Asbes, seng, terbang seperti daun di depan rumah saya," kata Nova yang tinggal di Jalan Radio Dalam Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Siang itu, Bima batal pergi ke dokter, karena keadaan cuaca sangat berbahaya.

Pukul setengah empat sore, ketika badai mereda, mereka baru bisa berangkat ke rumah sakit. "Jalanan porak poranda, akibat banyak pohon tumbang. Setelah menunggu pohon digergaji dan disingkirkan dari jalan raya, mobil saya baru bisa lewat," ujar Nova yang sampai di rumah sakit pukul 18.30.

Karena dokter langganannya ke luar negeri, Nova memilih dokter lain. "Saya pilih dokter yang namanya sudah sangat populer dan dikenal bagus," ujarnya

Setelah Nova menceriterakan keadaan Bima, dokter memeriksa bocah itu dengan sangat teliti. Mulai dari telinga, hidung, mata, hingga mulut. Paru-paru dan perutnya ditekan-tekan, sembari bertanya, "Sakit nak?", Bima menggeleng, "Tidak".

Usai memeriksa, dokter mengatakan, "Nggak apa-apa ini bu. Anak ibu hanya menderita radang tenggorokan." Ketika Nova bertanya mengapa anaknya muntah luar biasa, bahkan air dari perutnya keluar banyak sekali? Dokter menjawab enteng, "Ah, anak ibu belum dehidrasi. Minumnya masih banyak kan? Ini cuma radang saja kok."

Sewaktu didesak lagi soal muntah yang berlebihan dokter hanya mengatakan iritasi di tenggorokan memang menyebabkan gatal dan muntah. "Penjelasan itu tidak memuaskan saya, kemudian saya tanya lagi, perlu infus apa tidak ya?" Dokter menjawab enteng, "Tidak."

Suaminya, sempat menyenggol lengannya, "Yang sekolah siapa sih?" tanyanya bercanda, agar Nova menghentikan pertanyaan-pertanyaan kritisnya.

Nalurinya sebagai ibu yang ingin melindungi anaknya, membuat Nova terus mempertanyakan jawaban dokter yang menurutnya tidak meyakinkan.

"Lalu kami ke luar ruangan. Anak saya minta jaketnya dibuka. Begitu dibuka saya kaget lihat tangannya seperti orang kena tampek, ada bercak-bercak hitam. Aduh anak saya nggak begini nih tangannya. Saya balik lagi. Dok kenapa nih Bima, kok tangannya begini? Yang saya tahu anak saya tangannya mulus banget," tanya Nova kepada dokter. "Ah nggak apa-apa, karena panasnya tinggi, pembuluh darahnya lebih kelihatan," jawab dokter enteng.

Dokter memberikan obat antibiotik cair, Velocef, 250 miligram, obat demam Proris dan Parasetamol 300 miligram.

"Nanti kalau sudah minum obat ini 3 hari, dan belum sembuh, cek darah ya," pesan dokter.

Sesampainya di rumah, Nova langsung memberikan obat-obat itu pada anaknya. Setelah minum obat pemberian dokter, muntah Bima berkurang, demamnya pun turun, meski masih 38,5 derajat Celcius. "Oh obatnya bekerja, pikir saya senang."

Tapi, Nova tak lantas berhenti berikhtiar. Ia mencoba mendapatkan second opinion dari dokter lain. "Saya itu orangnya paranoid. Saya tak pernah percaya satu dokter. Saya cek lagi ke dokter lain."

Entah mengapa, kali ini Nova meminta pendapat dari mertuanya yang juga dokter spesialis anak. "Pa, saya kok nggak puas, tolong Bima diperiksa lagi."

Sang kakek kemudian memeriksa cucu laki-lakinya dengan teliti, termasuk melihat obat yang diberikan dokter. "Nggak apa-apa. Dia radang tenggorokan. Obat yang sudah diberikan dokter minum saja, habiskan. Itu sudah benar," kata sang kakek.

Nova belum puas juga dengan jawaban itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, setahunya anak demam tidak boleh lama-lama. Ia takut otak anaknya akan mengecil, atau ada efek lainnya. Namun, mertuanya meminta Nova berpikir positif saja untuk anaknya.

Beli kambing kurban

Hari Sabtu (31/1), kondisi Bima membaik. Anak ini malah sempat membeli kambing yang akan dikurbankannya pada hari raya Idul Adha. "Bu, aku ingin kurban, dan kambingnya aku pilih sendiri."

Usai memberi makan kambing yang baru dibeli bersama ibunya, Bima bermain dengan sepupunya. Muntahnya sudah berhenti dan suhu tubuhnya 37,5 derajat Celcius.

Keesokkan harinya, Minggu (1/2), pada hari raya Lebaran Haji, Bima masih bermain seperti biasa. Hanya saja ia terlihat lemas, dan lebih banyak tidur-tiduran. Nova sempat memberinya jus jambu. Namun, Bima sudah tak mau makan. Ia hanya minum terus.

Malam harinya, kira-kira pukul 21.30, kakeknya menanyakan kabar Bima via SMS, "Bagaimana posisi Bima?" Dijawab Nova, panasnya masih 38,5 derajat Celcius. "Coba cek darah," jawab sang kakek yang diiyakan Nova.

Menjelang sebuh, suhu badan badan Bima mendadak naik 40,5 derajat Celcius. "Saya panik. Anda yang nggak beres nih. Wong panasnya sudah turun kok naik lagi. Pasti ada infeksi," tutur Nova. Bima, masih sempat minta makan. "Bu, aku pengin makan," kata si anak. Ibunya memberi pisang ambon. Tak berapa lama, Bima malah muntah-muntah. Kali ini, muntahannya agak berbeda. Seperti ada lendir coklat. "Saya tidak curiga karena saya bayangkan jika pisang ambon teroksidasi warnanya berubah coklat."

Yang mengherankan, ketika suhu badannya diukur, bagian atas menunjukkan angka 40.5 derajat Celcius, namun dari pangkal paha sampai kaki, sangat dingin.

Senin sore (2/2) sekitar pukul 15.00, Bima digotong ke UGD RS Pondok Indah. Setengah jam kemudian, Bima sudah tiba di RS. Melihat kondisi Bima, dokter jaga UGD langsung berkomentar, "Aduh, anak ibu kayaknya DB nih." Nova balik bertanya, "Apa DB dok?" ,"Demam berdarah," jawab dokter. "Saya langsung lemes," ujar Nova.

Paramedis di rumah sakit langsung panik, mereka segera melakukan cek darah memastikan jumlah trombositnya. Saat itu, trombositnya masih 20.000.

Bima disarankan segera masuk ICU. Sayangnya, ICU di rumah sakit tersebut sudah penuh. Ruang ICCU pun sudah tak bisa menampung lagi. Akhirnya, Nova diberi tiga pilihan, RSCM, RS Bintaro atau sebuah rumah sakit elit di wilayah Jakarta Selatan.

Berdasarkan pertimbangan mertuanya yang berprofesi dokter, Nova memilih yang terakhir. Apalagi rumah sakit tersebut, jaraknya cukup dekat dari rumahnya. "Tapi jujur saja, sebenarnya perasaan saya tidak setuju Bima dirawat di rumah sakit tersebut," tuturnya.

Kepada dokter di RS Pondok Indah, Nova sempat menyayangkan, mengapa pada pemeriksaan pertama, anaknya tak terdeteksi demam berdarah. Malah, menyuruh kembali lagi setelah 3 hari. "Dokter itu sudah nggak bisa ngomong apa-apa lagi," ujar Nova.

Ia juga kesal pada mertuanya karena sebagai dokter tak bisa mendeteksi demam berdarah yang diderita Bima.

Senin malam itu, Bima dibawa dengan ambulans kerumah sakit yang sudah dipilih keluarganya.

Sebelum berangkat, Nova sempat bertanya pada dokter Hinky Hindra Irawan Satari, ahli spesialis penyakit daerah tropis yang berpraktik di RSCM, soal tindakan apa yang akan diambil dokter dalam keadaan Bima yang sudah kritis. Diterangkan oleh dokter, Bima harus segera mendapatkan vena session, infus di bagian kaki. Karena dari tangan sudah tidak bisa, darahnya sudah membeku.

"Saya bertanya lagi, apakah di rumah sakit yang akan kami tuju itu sudah mengerti tindakan yang akan dilakukan. Dokter mengatakan di sana sudah siap, dan begitu tiba, langsung diambil tindakan. Saya percaya saja."

Hanya ditangani perawat

Sesampainya di rumah sakit yang dituju, alangkah terkejutnya Nova, karena Bima kembali dimasukkan ke UGD, dan menjalani pemeriksaan dari awal lagi.

"Saya membentak petugasnya, ini kan sudah ada file-nya dari RS Pondok Indah, kok masih diperiksa ulang. Mereka nggak jawab. Entah apa memang demikian prosedur rumah sakit. Lama sekali anak saya diperiksa di UGD, baru kemudian dibawa ke ICU."

"Yang lebih hebat lagi," lanjut Nova, "Sejak anak saya masuk, dia hanya ditangani suster. Dokter anak, yang harusnya berjaga di ICU baru datang menjelang tengah malam. Ketika dia datang, anak saya sudah rapi, dan sudah diinfus oleh suster. Dia tinggal lihat-lihat aja."

Akibat dokter datang terlambat, perawat yang menangani, sempat berkali-kali salah menusukkan jarum infus ke tubuh Bima yang darahnya sudah mengental. "Suster itu seenaknya tusuk sana, tusuk sini, salah- salah terus, sampai anak saya teriak-teriak," tutur Nova dengan nada tinggi.

Kepada dokter tadi, Nova sempat bertanya mengapa anaknya tidak mendapatkan vena session. "Ini sudah cukup, nggak perlu lagi," kata dokter. "Saya diam saja. Dia malah menyarankan foto paru-paru lagi, artinya kembali lagi pada pemeriksaan awal yang sudah dilakukan di RS Pondok Indah."

Selasa pagi (2/2), sekitar pukul 8.00, kondisi Bima drop. Ia merasa kedinginan luar biasa. Suhu tubuhnya 35,5 derajat Celcius. Dokter dan perawat terlihat panik. "Kenapa dokter pada panik, saya nggak ngerti. Anak saya kemudian dikasih pemanas. Alat itu, semacam ada lampunya, yang dipasang dari bagian pinggang sampai kaki Bima."

"Ibu masih dingin sekali, minta selimut. Empat deh bu selimutnya, " keluh Bima berulang-ulang.

Nova menanyakan kepada perawat mengapa anaknya menggigil kedinginan. "Nggak apa-apa bu, pasien demam berdarah memang begitu, kadang stabil, kadang shock."

Pada saat kritis itu, barulah beberapa dokter datang, malah ada yang menyarankan mencari dokter anestesi untuk melakukan vena session. "Saya pikir kok baru sekarang diambil tindakan vena session, padahal saya sudah menanyakan hal itu sejak tadi malam," pikir Nova.

Lebih mengherankan lagi, dokter anak yang menangani Bima, baru pagi itu memeriksa seluruh catatan medis Bima. "Mana file dari RS Pondok Indah? Mana foto paru-paru? Mana hasil pemeriksaan darah? Mana laporan trombosit?" tanya dokter itu panik. "Semua kertas-kertas itu berserakan di atas meja. Padahal kondisi anak saya sudah sangat drop, dan dokter baru mempelajari catatan medisnya," tutur Nova kesal.

Wajah-wajah dokter dan perawat terlihat panik, malah ada sebagian yang berusaha menahan air mata. "Mereka kelihatan putus asa. Tetapi tetap tidak ngomong apa-apa pada saya. Kenapa muka mereka begitu?" tanya Nova dalam hati.

Pagi itu juga Bima mendapatkan vena session, infus di bagian kakinya, ditambah infus di bagian leher. "Ada tiga selang yang masuk ke leher anak saya," kata Nova, yang berusaha memastikan apakah dokter yakin dengan tindakan infus di bagian leher anaknya.

"Ini satu-satunya kesempatan," ujar dokter itu. Alasannya, di bagian leher ada pembuluh darah besar, jadi lebih gampang. Perawat juga memasang infus di bagian selangkangan Bima.

Setelah beberapa lama dipasang, infus di bagian selangkangan Bima menimbulkan bengkak. Ketika ditanyakan, perawat dengan enteng berujar, "Oh, ternyata yang di sini nggak bisa dok, infusnya nggak masuk," kata Nova menirukan ucapan suster tersebut.

Sempat terlintas dalam pikiran Nova, memindahkan anaknya ke rumah sakit lain, tapi kondisi Bima sudah terlalu parah. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya tinggal ikhtiar dan berdoa.

Tinja berwarna hitam

Selasa sore, Bima buang air besar. Nova semakin cemas, karena warna tinja anaknya hitam. "Saya kaget, kok tinjanya berwarna hitam. Ketika saya tanya ke dokter, dijawab tidak apa-apa. Itu merupakan proses perjalanan penyakit."

Namun, kondisi Bima semakin parah. Sekujur tubuhnya, mulai dari kepala sampai kaki membengkak. "Bima diguyur 9 botol infus. Itu apa saja, saya nggak tahu," ujar Nova sedih.

Ia kembali bertanya kepada dokter, "Kok bengkak sih dok? Ini gimana anak saya?", "Nggak apa-apa bu, nanti kempes sendiri, sejalan dengan keluarnya virus, nanti kempes sendiri," jawab dokter.

Diantara bagian tubuh lainnya, paha Bima, yang terlihat paling besar karena bengkak. Nova kembali bertanya, "Dok kok pahanya besar sekali?", dokter menenangkan, "Nggak apa-apa, itu proses perjalanan penyakit. Ibu tenang saja."

Dalam kondisi tubuh membengkak, Bima masih sadar dan bertanya pada ibunya, "Bu, kapan teman-teman mau jenguk aku? Aku pengin pulang, aku pengin sekolah lagi, aku mau main sama temen-temen. Bu, bawa dong temen-temen aku ke sini," kata Bima mengoceh sampai tengah malam.

Sore harinya, pukul 17.00, suster kepala ruangan masih memberi informasi yang cukup menghibur. Lima jam lagi Bima akan berhasil melewati masa kritisnya. "Apa maksudnya," tanya Nova. "Sebentar lagi, Bima, akan normal," jawab suster yang memberitahukan posisi trombosit Bima 29.000. "Alhamdulilah," sahut Nova bersyukur.

Hari itu, Bima ingin sekali minum fruit tea rasa anggur dan peach. "Dia juga lapar, pengin makan. Karena puasa, saya hanya memberi air sesendok. Itu pun ditegur perawat."

"Bu, aku pengin minum yang glek-glek, kok nggak boleh sih, pelit amat," ujar Bima lagi.

Hari Rabu, pukul 01.00 dini hari, Bima meminta ibunya membersihkan darah-darah kering disekitar jarum infusnya. "Bu, tolong bedak-bedakin juga dong. Ibu cium-cium juga ya," pintanya.

Nova menciumi tangan anaknya. "Gantian dong bu, tangan yang satu lagi, " kata Bima. "Kakinya, ciumin juga ya bu," lanjutnya. Setelah puas diciumi ibunya, Bima minta ijin tidur. "Bu, aku tidur ya." Sebelum tidur, Bima sempat membaca doa.

Pada saat anaknya tidur, Nova menanyakan kondisi anaknya pada perawat. Semuanya dijawab bagus. Air di paru-parunya pun sudah berkurang. "Entah itu sekadar lips service atau apa, tetapi mereka memberi harapan optimal kepada saya," tutur Nova.

Pukul 01.30, Nova sempat shalat di samping tempat tidur Bima. Tiba-tiba anaknya memanggil, "Ibuuu.., berpelukan", belum sempat Nova memeluk anaknya, baru berlari ke arah tempat tidurnya, Bima sudah ngos-ngosan, nafasnya sesak. Nova segera berteriak memanggil suster, memintanya mengambil alat pacu jantung.

Tetapi, satu orang perawat ICU yang berjaga ketika itu, malah sibuk mengatur volume selang infus. "Saya bingung dan marah, kok reaksinya seperti itu, pintu kaca ICCU saya gedor keras-keras. Tolong anak saya, ambil alat bantu pernafasan," teriak Nova.

Perawat kemudian memberikan CPR melalui pompa. "Saya masih memberi semangat, 'Ayo tolongin anak saya, jangan putus asa.' Saya masih optimis, karena saya masih ingat janji-janji suster sore harinya bagus banget," kata Nova.

Bima kemudian disuntik adrenalin, detak jantungnya sempat naik, tapi kemudian tak ada sambutan lagi, dan... hilang. Dengan alat kejut jantung pun tak bisa mengangkat lagi, grafik detak jantungnya tak bergerak lagi.

"Sudah bu, kami sudah berusaha, maaf..," ujar perawat.

Tubuh Nova langsung lemas, antara percaya tidak percaya, Bima, anak semata wayangnya, telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, tepat pukul 02.15 pagi.

Ia hanya bisa menyayangkan, mengapa pada saat kritis itu, tak ada satu dokter pun yang menangani anaknya.

Satu hal yang masih berkecamuk di benak Nova dan kerabatnya hingga hari ini, adalah: Kok bisa sih di kota metropolitan, dengan rumah sakit yang katanya favorit, penderita demam berdarah tidak tertolong nyawanya?

Padahal, biaya yang harus dikeluarkannya selama dua hari dirawat di rumah sakit, cukup besar, lebih kurang Rp12,5 juta. Mengapa pelayanan yang diterimanya sedemikian buruk?

Dalam keadaan marah dan kecewa, ia sempat ingin menggugat pihak rumah sakit. Tetapi setelah mempertimbangkan kemungkinan anaknya akan diotopsi, Nova menyurutkan langkahnya. "Saya tidak mungkin melakukan itu (otopsi) pada anak saya," ujarnya lirih.

Ia hanya berpesan kepada para orangtua, begitu anak panas lebih dari 37,5 derajat Celcius, dan sudah diberi obat demam, suhunya tidak turun-turun, segera bawa ke dokter. Bila dokter tak berinisiatif mengecek darah, bawa sendiri ke laboratorium dan periksa darahnya. Kalau perlu, pemeriksaan laboratorium dilakukan selama dua hari berturut-turut. Bila selama dua hari itu terjadi penurunan jumlah trombosit segera bawa ke rumah sakit, dengan menunjukkan bukti penurunan trombositnya.

"Tidak usah menunggu bintik merah, karena sampai Bima meninggal, tak ada bintik merah sama sekali di tubuhnya," ujar Nova lirih. (ZRP)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home