indische' voice

indische' blurbs on -
just about anything.

Friday, November 21, 2003

"War does not necessarily prove who is right. Only who is stronger."



RINDUKAN DAMAI

bayangkan...
bila kita bisa saling memaafkan

bayangkan...
bila kita bisa saling berpelukan

tiada perang kelicikan
tangis kelaparan ....

getarkan manusiawi kami
mata dan matahati kami
agar saling meniti

Esa Maha Suci
ampunkan dan tuntunlah kami
kita semua saling bersaudara
rindukan damai

(~GIGI)

ps: salam ied 1424H

Sunday, November 09, 2003



MAAFKAN IBU TELAH MEMBENTAKMU TADI SIANG

Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. "Oh, maafkan saya" adalah reaksi saya. Ia berkata, "Maafkan saya juga. Saya tidak melihat Anda." Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal. Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda.

Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. "Minggir," kata saya dengan marah.

Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya.

Ketika saya berbaring di tempat tidur, kata nurani seakan berbicara padaku, "Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang. Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu."

"Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu; merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu."

Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes. Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, "Bangun, nak, bangun," kataku. "Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?" Ia tersenyum, " Aku menemukannya jatuh dari pohon. "

"Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."

Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi."

Si kecilku berkata, "Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu."

Aku pun membalas, "Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru."

Apakah anda menyadari bahwa jika kita mati besok, perusahaan di mana kita bekerja sekarang bisa saja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka.

Saturday, November 08, 2003



What separates the talents from the non-talents?

At the prodding of my friends, I am writing this story. My name is Mildred Hondorf. I am a former elementary school music teacher from Des Moines, Iowa. I've always supplemented my income by teaching piano lessons- something I've done for over 30 years.

Over the years I found that children have many levels of musical ability.
I've never had the pleasure of having a protégé, though I have taught some talented students.

However I've also had my share of what I call "musically challenged" pupils. One such student was Robby. Robby was 11 years old when his mother (a single mom) dropped him off for his first piano lesson. I prefer that students (especially boys!) begin at an earlier age, which I explained to Robby, but Robby said that it had always been his mother's dream to hear him play the piano. So I took him as a student.

Well, Robby began with his piano lessons and from the beginning I thought it was a hopeless endeavor. As much as Robby tried, he lacked the sense of tone and
basic rhythm needed to excel. But he dutifully reviewed his scales and some elementary pieces that I require all my students to learn. Over the months he tried and tried while I listened and cringed and tried to encourage him. At the end of each weekly lesson he'd always say, "My mom's going to hear me play some day."

But it seemed hopeless. He just did not have any inborn ability. I only knew his mother from a distance as she dropped Robby off or waited in her aged car to pick him up. She always waved and smiled but never stopped in.

Then one day Robby stopped coming to our lessons. I thought about calling him but assumed because of his lack of ability, that he had decided to pursue something else. I also was glad that he stopped coming. He was a bad advertisement for my teaching!

Several weeks later I mailed to the student's homes a flyer on the upcoming recital. To my surprise Robby (who received a flyer) asked me if he could be in the recital. I told him that the recital was for current pupils and because he had dropped out he really did not qualify. He said that his mother had been sick and unable to take him to piano lessons but he was still practicing. "Miss Hondorf . . . I've just got to play!" he insisted. I don't know what led me to allow him to play in the recital. Maybe it was his persistence or maybe it was something inside of me saying that it would be all right.

The night for the recital came. The high school gymnasium was packed with parents, friends and relatives. I put Robby up last in the programme before I was to come up and thank all the students and play a finishing piece. I thought that any damage he would do would come at the end of the programme and I could always salvage his poor performance through my "curtain closer."

Well, the recital went off without a hitch. The students had been practicing and it showed. Then Robby came up on stage. His clothes were wrinkled and his hair looked like he'd run an eggbeater through it.

"Why didn't he dress up like the other students?" I thought. "Why didn't his mother at least make him comb his hair for this special night?"

Robby pulled out the piano bench and he began. I was surprised when he announced that he had chosen Mozart's Concerto #21 in C Major. I was not prepared for what I heard next. His fingers were light on the keys, they even danced nimbly on the ivories. He went from pianissimo to fortissimo . . . from allegro to virtuoso. His suspended chords that Mozart demands were magnificent! Never had I heard Mozart played so well by people his age. After six and a half minutes he ended in a grand crescendo and everyone was on his or her feet in wild applause.

Overcome and in tears I ran up on stage and put my arms around Robby in joy. "I've never heard you play like that Robby! How'd you do it?" Through the microphone Robby explained, "Well Miss Hondorf .. . remember I told you my mom was sick? Well actually she had cancer and passed away this morning. And well . . . she was born deaf so tonight was the first time she ever heard me play. I wanted to make it special."

There wasn't a dry eye in the house that evening. As the people from Social Services led Robby from the stage to be placed into foster care, I noticed that even their eyes were red and puffy, and I thought to myself how much richer my life had been for taking Robby as my pupil.

No, I've never had a protégé, but that night I became a protégé. . . of Robby's. He was the teacher and I was the pupil. For it is he who taught me the meaning of perseverance and love and believing in yourself and maybe even taking a chance in someone, and you don't know why.

Robby was killed in the senseless bombing of the Alfred P. Murrah Federal Building in Oklahoma City in April of 1995, where he was reportedly playing the piano.

Thursday, November 06, 2003



10% kehidupan dibuat oleh hal-hal yang terjadi terhadap kita. 90% kehidupan ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi/memberi respon.

Kita sungguh-sungguh tidak dapat mengontrol 10% kejadian-kejadian yang menimpa kita. Kita tidakdapat mencegah kerusakan mobil. Pesawat mungkin terlambat, dan mengacaukan seluruh jadwal kita. Seorang supir mungkin menyalip kita di tengah kemacetan lalu-lintas. Kita tidak punya kontrol atas hal yang 10% ini.

Yang 90% lagi berbeda. Kita menentukan yang 90%!

Bagaimana? Dengan reaksi kita. Kita tidak dapat mengontrol lampu merah, tapi dapat mengontrol reaksi kita. Jangan biarkan orang lain mempermainkan kita, kita dapat mengendalikan reaksi kita!


Mari lihat sebuah contoh

Kamu sedang sarapan bersama keluarga. Adik perempuanmu menumpahkan secangkir kopi ke kemeja kerja mu. Kamu tidak dapat mengendalikan apa yang telah terjadi itu.

Apa yang terjadi kemudian akan ditentukan oleh bagaimana kamu bereaksi?

Kamu mengumpat, lalu dengan kasar memarahi adik mu yang menumpahkan kopi. Dia menangis. Setelah itu, kamu melihat ke istrimu, dan mengkritiknya karena telah menaruh cangkir kopi terlalu dekat dengan tepi meja. Pertempuran kata-kata singkat menyusul. Kamu naik pitam dan kemudian pergi mengganti kemeja. Setelah itu kamu kembali dan melihat adik perempuanmu sedang Menghabiskan sarapan sambil menangis dan siap berangkat ke sekolah. Dia ketinggalan bis sekolah. Istrimu harus segera berangkat kerja. Kamu segera menuju mobil Dan mengantar adik mu ke sekolah.Karena kamu terlambat, kamu mengendarai mobil melewati batas kecepatan maksimum. Setelah tertunda 15 menit karena harus membayar tilang, kamu tiba di sekolah. Adikmu berlari masuk. Kamu melanjutkan perjalanan, dan tiba di kantor terlambat 20 menit, dan kamu baru sadar, bahwa tas kerjamu tertinggal. Hari-mu begitu buruk.Kamu ingin segera pulang. Ketika kamu pulang, kamu menemukan ada hambatan dalam hubungan dengan istri dan adikmu.

Kenapa?

Karena reaksimu pagi tadi

Kenapa hari mu buruk?

a) Karena secangkir kopi yang tumpah?
b) Kecerobohan adikmu?
c) Polisi yang menilang?
d) Karena dirimu sendiri?

Jawaban-nya adalah D

Kamu tidak dapat mengendalikan tumpahnya kopi itu. Bagaimana reaksi-mu 5 detik kemudian itu, yang menyebabkan hari mu menjadi buruk.


Ini yang mungkin terjadi jika kamu bereaksi dengan cara yang berbeda

Kopi tumpah di kemejamu. Adikmu sudah siap menangis.

Kamu dengan Lembut berkata : "Tidak apa-apa sayang, lain kali kamu lebih hati-hati ya". Kamu pergi mengganti kemejamu dan tidak lupa mengambil tas kerjamu. Kamu kembali dan melihat adikmu sedang naik ke dalam bus sekolah. Istrimu menciummu sebelum kamu berangkat kerja. Kamu tiba di kantor 5 menit lebih awal, dan dengan riang menyalami para karyawan. Atasanmu berkomentar tentang bagimana baiknya hari ini buat mu.


Lihat perbedaannya. Dua skenario yang berbeda. Keduanya dimulai dari hal yang sama, tapi berakhir dengan berbeda.

Kenapa?

Karena REAKSI kita. Sungguh kita tidak dapat mengontrol 10% hal-hal yang terjadi.Tapi yang 90% lagi ditentukan oleh reaksi kita.