indische' voice

indische' blurbs on -
just about anything.

Friday, January 30, 2004



CHARLENE, Penderita SAPI GILA yang Masih Bertahan Hidup!

Dia baru saja lulus perguruan tinggi ketika gejala mengerikan itu muncul ke permukaan.

Charlene, baru berusia 22 tahun. Dia dikenal sebagai gadis cantik, periang dan berhati lembut. Entah mengapa, perangainya mendadak berubah jadi lekas naik darah. Ingatannya juga payah, dia gampang lupa. Tangan kanannya sering gemetar, begitu juga kaki kirinya.
Keseimbangan tubuhnya pun lenyap.

"Dia hanya bisa menangis, menangis dan menangis," ceritera Patrick, ayahnya. "Dia tahu dirinya sakit, tetapi tidak tahu apa penyakitnya."

Hanya dalam waktu enam bulan, gadis Miami itu tergolek tak berdaya, tak mampu bicara atau mengontrol fungsi jasmaninya.

"Fisiknya mengalami kemunduran sangat cepat. Dia kehilangan kesadaran.
Dia tidak tahu berada dimana, dan tidak mengenali keluarganya," lanjut Patrick.

Hari ini, dua tahun setelah gejala pertamanya muncul --gadis yang kini berusia 24 tahun itu-- masih terbaring di tempat tidur. Otaknya mengalami kerusakan sangat parah. Dia makan melalui pipa di dalam perutnya.

Meski menurut ahli medis tak ada harapan bagi gadis malang ini hidup lebih lama, ibunya dengan telaten memandikan, memberi makan dan menjaganya selama 24 jam penuh. Tak heran jika, Charlene yang tadinya divonis bertahan hidup selama 3 bulan, masih hidup hingga sekarang.

"Dia menunjukkan gejala membaik, karena ibunya merawatnya dengan cermat," ujar bibinya, Sharon.

"Sebenarnya berat bagi ibunya berada di kamar setiap hari bersama putrinya, sebab Charlene tidak bisa ditinggal. Setiap saat dia butuh bantuan untuk bernafas dan ibunya duduk disampingnya setiap hari."

Baru-baru ini seorang dokter menawarkan bantuan dengan memberinya perawatan hyperbaric. Oksigen murni dipompakan ke dalam paru-parunya seminggu tiga kali agar otaknya bisa berfungsi lebih baik.

"Ketika pertama kali datang, dia benar-benar tidak sadar, dan sama sekali tak mampu merespon perintah yang diberikan," ujar Dr. Neubauer.

Setelah 192 kali perawatan, Charlene tak hanya bertahan hidup, dia bisa berbicara (tepatnya berbisik) meski baru sedikit, dan melakukan perintah sederhana. Berat badannya mulai naik, dan terlihat lebih gembira. Beberapa bagian tubuhnya sudah bisa digerakkan.

"Saya tak pernah menyerah dengan keadaan Charlene, tak sedetik pun.
Sejauh ini kami sudah mengalami kemajuan pesat. Saya berharap -dan juga berdoa--suatu hari nanti, putri kami bisa bangun dari tempat tidurnya dan berjalan. Saya yakin itu akan terjadi, " kata sang ayah.
***

Charlene adalah satu-satunya orang di Amerika Serikat yang menderita penyakit sapi gila yang menyerang jaringan saraf otaknya dalam bentuk varian Creutzfeldt Jakob Disease (vCJD).

Ayah Charlene yakin putrinya pertama kali tertular penyakit ini 11 tahun lalu akibat memakan daging sapi yang terjangkit penyakit sapi gila. Ketika itu, usianya baru 13 tahun, dan mereka sekeluarga masih tinggal di Inggris.

Sembilan tahun kemudian, ketika keluarga Charlene sudah pindah ke Florida, Amerika Serikat, gejala penyakitnya baru muncul.

Penyakit sapi gila memang memiliki karakteristik dengan masa inkubasi yang panjang. Inkubasi pada sapi berlangsung antara 3 tahun hingga 8 tahun, sedangkan pada manusia masa inkubasinya belum diketahui, tetapi diperkirakan sekitar 5 tahun hingga 20 tahun. Selama masa inkubasi tidak ada tanda-tanda penyakit yang kasatmata.

Awal tahun ini, kisah Charlene diangkat kembali di berbagai media terkemuka Amerika seperti CNN dan Washingthon Post, menyusul ditemukannya penyakit sapi gila di negara bagian Washington, 23 Desember 2003 lalu.

"Saya merasa ngeri dan ketakutan, mengapa hal ini terjadi lagi? Rasanya seperti berada di Inggris kembali, dan melihat semuanya terjadi lagi," kata Patrick.

"Saya khawatir orang-orang akan makan daging sapi yang terinfeksi, dan mereka sekarat akibat penyakit ini."

Hingga hari ini, penyakit sapi gila pada manusia sudah menyerang 153 orang di seluruh dunia. Sebagian besar, 143 kasus, terjadi di Inggris, dimana penyakit ini pertama kali dideteksi pada 1996. Enam kasus lainnya terjadi di Prancis, selebihnya masing-masing satu kasus berada di Italia, Irlandia, Kanada dan Amerika Serikat.

Bila ditelusuri, semuanya berkaitan dengan mewabahnya penyakit sapi gila di Inggris pada November 1986, yang kemudian menyebar ke Belgia, Prancis, Italia, Portugal, dan Spanyol.

Sesuai dengan namanya, penyakit sapi gila ini menampakkan gejala kegilaan, yaitu kehilangan koordinasi, depresi, ketakutan, terlalu peka, tremor, agresif, gerakannya tidak terarah, gelisah, dan gejala psikis lainnya.

Gejala itu muncul karena ada kerusakan otak yang terjadi secara perlahan-lahan, di mana akhirnya otak sapi tersebut berbentuk seperti spons. Makanya, dalam Bahasa Latin penyakit ini disebut bovine spongiform encephalopathy (BSE).

Penyakit sapi gila ditularkan kepada manusia melalui konsumsi daging sapi yang terinfeksi, yang kemudian menyerang jaringan saraf otak manusia dalam bentuk varian Creutzfeldt Jakob Disease (vCJD).

Manusia yang terkena vCJD akan kehilangan kekuatannya, pertumbuhan badannya praktis terhenti. Penyakit ini, cepat atau lambat merambat ke otak kemudian membuat otak manusia tidak lagi utuh, berubah seperti spons atau busa kursi yang bolong-bolong. Jika ini terjadi, maka tidak ada kekuatan yang bisa menahan kecuali mukjizat Tuhan dan keteguhan hati seperti yang ditunjukkan keluarga Charlene. (zrp/CNN/WashingtonPost)

Thursday, January 29, 2004

KULI TERHORMAT

Di antara sejumlah peperangan yang paling dahsyat adalah Perang Khandaq. Kala itu kaum Yahudi Madinah melakukan persekongkolan dengan musyrikin Makkah yang terdiri atas berbagai golongan, dan bergabung menjadi satu untuk menghancurkan umat Islam di Madinah. Blokade dilakukan oleh tentara gabungan itu, didukung dengan sabotase dari dalam oleh orang-orang Yahudi. Umat Madinah sudah mulai dihinggapi kelelahan dan putus asa, kelaparan dan kehilangan semangat, sementara setiap saat tentara musuh bakal menyerbu dengan sengit. Dalam kekalutan itulah muncul sebuah nama ke permukaan, nama yang tadinya tidak terlalu diperhitungkan milik seorang mualaf muda kelahiran negeri Persia. Ia adalah Salman yang dijuluki al Farisi sesuai tanah tumpah darahnya. Pemuda ini menyarankan agar digali parit panjang dan dalam melingkari kota Madinah. Rasulullah menyambut gagasan itu dengan gembira. Dan itulah awal kebangkitan semangat umat Islam untuk mempertahankan kedaulatannya dan awal kehancuran musuh-musuh umat Islam.

Sejak itu nama Salman al Farisi mencuat naik. Di zaman pemerintahan Umar bin Khaththab, Salman mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman kelaliman Kisra Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan penindasan dan kekejaman. Untuk membangun istana Iwan Kisra saja, ribuan rakyat jelata terpaksa dikorbankan, tidak setitik pun rasa iba terselip di hati sang raja.

Di bawah pimpinan Panglima Sa’ad bin Abi Waqash, tentara muslim akhirnya berhasil menduduki Persia, dan menuntun rakyatnya dengan bijaksana menuju kedamaian Islam. Di Qadisiyah, keberanian dan keperwiraan Salman al Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan lawan menaruh menaruh hormat padanya. Tapi bukan itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan pada waktu ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati mengeluarkan keputusan bahwa Salman diangkat menjadi amir negeri Madain.

Umar secara bijak telah mengangkat seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat. Oleh sebab itu ia tidak ingin mengecewakan pimpinan yang memilihnya, lebih-lebih ia tidak ingin dimurkai Allah karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.

Maka Salman sering berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan diri sebagai amir. Sehingga banyak yang tidak tahu bahwa yang sedang keluar masuk pasar , yang duduk-duduk di kedai kopi bercengkrama dengan para kuli itu adalah sang gubernur.

Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikitpun orang tersebut dengan patuh mengangkut bungkusan berat dan besar itu ke kedai yang dituju.

Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia?, mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab, “Tidak tahukah Tuan , kalau orang itu adalah gubernur kami?”. Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada ‘ kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman al Farisi .

“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu. Tuan adalah amir negeri Madain, “ ucap si pedagang. “ Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.”

Setelah dengan penuh keringat di sekujur badannya. Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan kegubernuranku. Aku sudah menerima dengan rela perintahmu untuk mengangkat barang ini kemari. Aku wajib melaksanakannya hingga selesai. Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?”

Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur?. Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, malah merendah di depan rakyatnya. Karena pada hakekatnya, ketinggian martabat pemimpin justru datang dari rakyat dan bawahannya.

SELAMAT IDUL ADHA 1424 H

Friday, January 23, 2004



In the end, it's not about finding someone perfect to love, but how to love an imperfect person perfectly.

Friday, January 16, 2004



Kehilangan Bukan Segalanya

Suatu ketika seorang bapak tua hendak menumpang bus. Pada saat ia menginjakkan kakinya ke tangga, salah satu sepatunya terlepas dan jatuh ke jalan. Lalu pintu tertutup dan bus mulai bergerak, sehingga ia tak bisa memungut sepatu yang tadi terlepas. Namun, si bapak tua itu kemudian melepas sepatunya yang sebelah dan malah melemparkannya keluar jendela.

Seorang pemuda yang duduk dalam bus melihat kejadian itu, dan bertanya kepada si bapak tua, "Aku memperhatikan apa yang Anda lakukan. Mengapa Anda melemparkan sepatu Anda yang sebelah juga ?" Si bapak tua menjawab, "Supaya siapapun yang menemukan sepatuku bisa memanfaatkannya."

Si bapak tua dalam cerita di atas mengajarkan bahwa tak ada gunanya mempertahankan sesuatu hanya karena dia ingin memilikinya atau karena dia tidak ingin orang lain memiliki barang berharga miliknya.

Kita kerap kehilangan banyak hal di sepanjang masa hidup. Kehilangan tersebut pada awalnya tampak seperti tidak adil dan merisaukan, tapi itu sebenarnya terjadi supaya ada perubahan positif yang terjadi dalam hidup kita.

Contoh di atas tak hanya diartikan kita hanya boleh kehilangan hal-hal jelek saja. Kadang, kita juga kehilangan hal-hal baik. Ini semua dimaksudkan, agar kita bisa menjadi lebih dewasa secara emosional dan spiritual, pertukaran antara kehilangan sesuatu dan mendapatkan sesuatu kerap harus terjadi.

Seperti si bapak tua dalam cerita tadi, kadang kita harus belajar untuk melepaskan sesuatu. Tuhan sudah menentukan bahwa itulah saatnya si bapak tua kehilangan sepatunya. Bisa jadi, peristiwa itu terjadi agar si bapak tua kelak mendapatkan sepasang sepatu yang lebih baik. Satu sepatu hilang. Dan sepatu yang tinggal sebelah tidak akan banyak bernilai bagi si bapak. Tapi dengan melemparkannya ke luar jendela, sepatu itu akan menjadi "hadiah" yang berharga bagi gelandangan yang menemukannya.

Berkeras mempertahankan sesuatu yang bukan kehendak-Nya, tidak membuat kita atau dunia menjadi lebih baik. Kita semua harus memutuskan kapan sesuatu hal atau seseorang masuk dalam hidup kita, atau kapan saatnya kita lebih baik bersama yang lain. Pada saatnya, kita harus mengumpulkan keberanian untuk melepaskan itu semua.

(Sumber: Buku Losing is Winning/MSN)