Memenjarakan Anak dengan Kebebasan
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
Saya nyaris tak percaya ketika datang seorang anak yang wajahnya tampak linglung. Raut mukanya mengingatkan saya pada anak-anak yang idiot atau debil. Wajah yang tidak memancarkan semangat. Di matanya, yang ada hanya tatapan kosong tanpa cita-cita.
Rasanya sulit percaya bahwa anak itu hadir ketika saya baru saja menuliskan kata linglung untuk prolog buku "Menuju Kreativitas" karya sahabat saya, Mas Wahyudin. Awalnya saya kira anak yang putih bersih itu, mengalami keterbelakangan mental bawaan sejenis idiot. Tetapi ketika melihat reaksi-reaksi di wajahnya, saya mulai menangkap bahwa anak ini sebenarnya normal. Pengasuhanlah yang telah membuat ia kehilangan kekayaan yang paling berharga: "jiwa yang sehat dan hidup".
Lalu, apa yang membuat anak itu sampai begitu mengenaskan jiwanya? Beban apa yang memberatkan dirinya sehingga ham pir-hampir tak sanggup lagi untuk berpikir?
Bukan kemiskinan yang membuat tatapan matanya kosong dan hampa. Bukan kesusahan yang menjadikan jiwanya penat dan lelah. Tetapi kebebasan untuk bermain game, kapan pun ia mau. Anak sekecil itu, di usianya yang baru berkisar 8-9 tahun, telah menghabiskan sepertiga dari usianya setiap hari untuk hanyut dalam permainan video-game yang menegangkan. Seluruh energinya seakan telah habis untuk memelototkan di depan layar komputer, berpacu dengan suara perang-perangan yang mendebarkan.
Saya segera teringat dengan tulisan yang belum selesai saya ketik. Di prolog itu, sempat saya bercerita sejenak tentang Milton Chen. Dalam bukunya berjudul The Smart Parent's Guide to KIDS' TV, Chen menunjukkan bahwa waktu menonton yang cukup sehat adalah berkisar 8-10 jam seminggu. Dengan kata lain, lamanya waktu menonton sebaiknya berada pada rentang 1 jam 9 menit sampai dengan 1 jam 25 menit. Itu pun dengan catatan tayangannya masih cukup sehat. Jika tayangannya benar-benar sangat edukatif dan merangsang daya nalar anak, mereka bisa menonton maksimal 15 jam seminggu. Lebih dari itu sudah tidak sehat. Apalagi kalau acaranya banyak menayangkan kekerasan,jam menonton harus dipersingkat.
Banyak yang menarik dari buku Milton Chen. Tentang bagaimana tayangan kekerasan merangsang agresivitas anak, tentang bagaimana TV menumpulkan perasaan dan kasih-sayang kepada orang lain, atau tentang bagaimana TV merampas waktu anak yang paling berharga. Tetapi saya tidak ingin menyibukkan Anda dengan hasil-hasil penelitian itu. Cukuplah kita merenung sejenak tentang waktu yang kita berikan untuk anak-anak kita. Barangkali banyak di antara kita yang merasa aman dengan kebebasan yang kita berikan pada anak untuk menonton, padahal 4 jam sehari (28 jam seminggu) di depan TV ternyata sudah termasuk kategori membahayakan. Benar-benar mengancam mental dan kepribadian anak. Apalagi kalau tayangan itu berupa video-game yang dari detik ke detik hanya menyajikan kekerasan, keganasan dan cuma memancing reaksi impulsif anak.
Diam-diam saya merasa khawatir, jangan-jangan banyak di antara kaum muslimin -bahkan dari mereka yang punya komitmen dakwah-mengizinkan anaknya duduk manis di depan TV lebih dari 4 jam sehari. Kalau itu terjadi, akan lahir di sekeliling kita anak-anak yang tak punya inisiatif, tumpul otaknya dan mati gagasannya -meskipun IQ-nya sangat tinggi. Akan lahir anak-anak yang hatinya beku dan jiwanya mati, sementara syahwat besar berkobar-kobar. Mereka inilah yang bisa terkena robopath sebelum dewasa, semacam patologi jiwa yang membuat mereka seperti robot. Bertindak tanpa pikiran, bergerak tanpa jiwa. Yang ada hanya jebakan aktivitas yang membelenggu.
Dampak ini akan lebih terasa jika yang dipelototi anak bukan lagi TV, tetapi video-game berat. Anak yang hanyut dengan video-game sampai tingkat yang sangat menguras energi psikis, cenderung sangat pasif atau just ru sebaliknya amat agresif. Mereka bisa seperti orang linglung. Tak tahu apa yang harus dilakukan. Bisa juga sangat ganas. Mereka berperilaku sangat agresif karena pengaruh adegan yang disaksikan. Bukan karena dorongan kecerdasan.
Setiap kali memainkan video-game, anak juga terangsang bertindak impulsif. Kalau tidak ada kegiatan penyeimbang yang memadai, anak-anak itu bisa kehilangan kendali emosi. Mereka tidak mampu mengembangkan kecakapan emosi yang sehat, normal dan baik. Bahkan bisa terjadi, anak-anak itu mengalami cacat emosi (emotionally handicapped), meskipun pada awalnya normal. Anak yang saya ceritakan di awal tulisan ini merupakan contoh bagaimana video-game telah menjadikannya seperti anak idiot. Ia tidak nyaman berada di lingkungan yang tidak dikenal karena keterampilan emosi dan sosialnya telah rusak.
Bagaimana bisa demikian? Anak ini memelototi video game berat yang ada di komputernya rata-rata delapan jam sehari!!! Apalagi pada waktu libur, bisa lebih lama lagi. Kalau dihitung delapan jam saja, berarti lebih dari separo waktu jaganya digunakan untuk duduk terpaku. Ia hanya berinteraksi dengan kekerasan, gambar yang bergerak cepat, ancaman yang setiap detik selalu bertambah besar, serta dorongan untuk membunuh secepat-cepatnya. Anak mengembangkan naluri membunuh yang impulsif, sadis dan ngawur. Ia tekan apa saja secara membabi-buta seraya memuntahkan serangan maya secepat mungkin.
Andaikan sesudah memelototi video-game otak anak bisa segar, delapan jam sehari sudah terlalu banyak. Jauh lebih banyak daripada titik bahaya nonton TV, yakni 4 jam sehari! Padahal, video game menyerap energi psikis anak lebih besar daripada TV. Beberapa jam sesudah memelototi TV, otak anak masih tetap dibebani oleh permainan yang ada di video game. Anak dikejar oleh bayang-bayang untuk menuntaskan permainan dan memenangkan pertarungan.
Praktis, anak tidak siap menerima rangsangan lainnya. Lebih-lebih rangsangan yang daya tariknya lemah dan tidak memberi aktivitas menantang, akan sulit menyentuh wilayah psikis anak. Nah, proses belajar akademis termasuk rangsangan yang cenderung tidak menantang, monoton dan lamban - dalam hal ini bagi anak-anak yang kecanduan video-game.
Kalau ini terjadi, mereka akan merasakan suasana kelas seperti penjara bagi jiwanya. Tubuhnya ada di kelas, tetapi pikirannya, rasa penasarannya dan keinginannya ada di video-game. Ada suara-suara guru yang masuk ke telinga, tetapi tak ada yang terekam. Ibarat komputer, registrynya sedang error. Tampaknya sedang belajar, tetapi pikirannya sibuk mengolah bayang-bayang game yang mendebarkan. Inilah yang menyebabkan anak tidak bisa memproses pelajaran yang diberikan kepadanya. Sama seperti komputer, sistemnya macet (system halted). Hang. Tidak bekerja.
Apa yang bisa dilakukan jika akibatnya sudah separah itu? Terapi. Ini berarti orangtua tidak bisa melakukan sendiri, kecuali jika orangtua adalah psikolog anak yang ber pengalaman. Bisa jadi proses terapinya tidak bisa dilakukan oleh satu orang. Harus melibatkan ahli-ahli lain untuk mengembalikan anak pada kondisi normal, bisa belajar berpikir dengan baik, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sekolah, serta dapat mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah dengan wajar. Terapi juga diarahkan agar anak bisa belajar mengelola emosinya, mampu menghidupkan perasaannya dengan baik dan sehat, serta belajar menumbuhkan inisiatif positif. Itu pun dengan catatan, proses terapi tidak bisa menjamin selalu berhasil dengan sempurna. Selalu ada kemungkinan proses terapi itu masih meninggalkan masalah, meskipun kecil, terutama jika orangtua tidak dapat diajak bekerjasama dengan baik. Tentu saja, sangat mungkin proses terapi akan mampu mengatasi masalah dengan sempurna. Tetapi berhati-hati agar tidak timbul persoalan yang berat, adalah jauh lebih baik.
Persoalannya, kenapa sebagian orangtua dengan mudah menyediakan alat-alat permainan sem acam itu? Banyak kemungkinan. Pertama, orangtua tidak mau repot dengan anak. Mereka belikan anak apa pun yang dapat membuatnya diam. Kadang tanpa sadar, orangtua melakukan dengan melemahkan rasa sayang anak pada orangtua. Ketika anak rewel, orangtua segera menyodorkan TV, VCD,video-game atau apa pun yang dapat membuat anak diam. Padahal cara ini bisa berdampak pada lemahnya keterampilan emosi anak. Mereka tidak belajar bagaimana mengelola keinginan atau mengambil pertimbangan.
Pada sebuah kasus, seorang anak mempunyai gejala persis seperti anak pengidap autisme. Setelah ditulusuri, anak ini ternyata pada dasarnya normal. Pola asuh orangtuanya yang membuat anak cacat emosi. Kedua orangtua bekerja dan begitu tiba di rumah, mereka sibuk melepas lelah dengan menutup di kamar. Setiap anak rewel, orangtua menyodorkan tawaran-tawaran berupa VCD dan game. Tak ada sentuhan.
Kedua, orangtua tanpa orientasi pendidikan yang baik. Mereka memberikan mainan apa saja asalkan an ak senang. Mereka bisa terlibat dalam permainan. Hanya saja mereka tidak memiliki arah, sehingga apa pun yang sedang trend akan diberikan kepada anak. Sedihnya, sekolah pun ternyata tak sedikit yang miskin orientasi.
Ketiga, semangat tanpa ilmu. Mereka belikan anak berbagai bentuk alat permainan, termasuk video game, karena menginginkan anaknya maju, modern dan kreatif. Mereka memberi alat permainan karena mendengar bahwa kegiatan bermain sangat penting untuk merangsang kecerdasan, kreativitas, inisiatif dan semangat anak. Sayangnya, mereka lupa bahwa alat permainan -atau yang dianggap sebagai alat permainan-tidak sama dengan bermain.
Kegiatan bermain akan menyegarkan pikiran anak, menyenangkan dan menggugah anak untuk lebih aktif. Tetapi alat permainan tidak selalu positif. Sebagian alat permainan bisa berfungsi sebagai alat terapi atas berbagai jenis gangguan psikis anak. Sebagian justru bisa mengganggu.
Masalah ketiga ini agaknya perlu saya te kankan. Saya pernah merasa sangat sedih ketika suatu hari seorang guru mengajarkan tepuk sambal kepada anak. Atas nama kreativitas dan fun, guru mengajarkannya. Padahal dari segi isi kalimat maupun gerak, nyaris tak ada yang bisa dipetik.
Termasuk semangat tanpa ilmu adalah perkataan sebagian orangtua tentang kebebasan. Mereka pernah membaca tulisan yang cuma sekilas bahwa anak perlu diberi kebebasan agar anak cerdas, kreatif dan penuh inisiatif.
Mereka akhirnya benar-benar belajar "menghargai" setiap keinginan dan pendapat anak. Tetapi rupanya menghargai dianggap sama dengan menuruti tanpa kendali.
Walhasil, inginnya memberi kebebasan pada anak, yang terjadi justru memenjarakan anak dengan kebebasan. Bermula dari kebebasan tanpa arah, anak kehilangan saat berharga untuk belajar bersosialisasi. Anak tak punya kesempatan untuk belajar mengelola emosinya.
Agaknya, ada yang perlu kita renungkan tentang cara kita mendidik anak.